“Indonesia Tanah airku Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi Pandu Ibuku
Indonesia Kebangsaanku Bangsa dan Tanah airku
Marilah kita berseru Indonesia Bersatu….”
Bait-bait syair lagu Indonesia Raya itu bergema di antara rimbun hutan di sebuah dusun di Kalimantan Barat, tepatnya di dusun Manjau Kabupaten Ketapang, dari mulut-mulut mungil yang sebagian tak bersepatu dengan seragam merah dan putih yang seadanya berkumandang lantang lagu yang penuh kebanggaan dan kecintaan memiliki negeri yang bernama Indonesia.
Air mataku mengambang dan dadaku terasa sesak oleh keharuan, betapa tidak, mata, telinga dan hatiku dengar dan saksikan anak-anak dengan segala kesederhanaan yang mereka miliki berdiri tegak di hadapan Sang Saka Merah Putih mengumandangkan pujian dan kesaksian dengan lugu dan ikhlas kepada Sang Negeri, penuh cinta dan kebanggaan pada Ibunda Pertiwi.
Di sudut-sudut lain di Negeri ini aku pernah saksikan banyak anak-anak, remaja bahkan orang tua yang tak lagi sadar dan ingat akan lagu Indonesia Raya bahkan mungkin juga lupa kalau memiliki negeri yang bernama Indonesia, anak-anak disibukkan dengan beraneka ragam cyber-game, para remaja terhipnotis dengan kehidupan glamor yang serba modis, sementara itu para orang tua berpacu mengeruk rupiah. Di sudut lain para akademisi di kampus-kampus saling hantam-menghantam tidak sedikit pula yang meninggal dunia karena memperebutkan “kehormatan semu”, bukan lagi gigih memperjuangkan “Kehormatan Keyakinan sejati”, hanya karena rebutan pacar sebabkan kampus berantakan. Politikus di negeri ini seakan lupa memasukkan “agenda suci” kedalam agenda harian mereka, agenda mereka penuh dengan kepentingan kepuasan pribadi dan kepentingan kekuasaan partai dengan “memakai topeng” demi kepentingan rakyat.
Para cerdik cendikia dan pemikir di negeri ini berkumpul di megah kota-kota besar, duduk nyaman dengan ruang ber AC, dalam sebuah lingkungan yang serba modern dan canggih. Para jutawan, milyader sibuk menginvestasikan dan menggandakan uang mereka lalu menumpuknya di Bank-bank luar negeri. Sementara itu jauh di pelosok negeri jutaan anak usia sekolah dengan telanjang kaki tertatih-tatih untuk bisa sekolah dan belajar tidak sedikit mereka harus menggantung mimpinya untuk jadi pelajar atau sarjana karena ketidak mampuan ekonomi karena mahalnya biaya pendidikan dan tidak adanya guru serta sekolah di daerah mereka. Betapa bahagianya Ibunda Pertiwi bila melihat para cerdik cendikia dan orang-orang kaya di negeri ini bersama menyingsingkan lengan baju membagikan kelebihan pemikiran, tenaga dan uang mereka untuk membantu anak-anak negeri di sudut-sudut negeri sehingga ringan beban mereka untuk dapat menikmati ”dunia pendidikan”.
Sebuah mimpiku, apabila satu orang dinegeri ini menyisihkan Rp. 1000,- setiap hari untuk membantu pendidikan tentu tidak akan ada lagi keluhan ”biaya pendidikan itu mahal”.
Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang, bukalah mata, hati dan telingaku, saudara-saudaraku, pemimpin dan rakyat Indonesia agar anak-anak negeri di sudut-sudut negeri terringankan beban dipundaknya untuk dapat menikmati Pendidikan yang sama dengan anak-anak di pusat-pusat negeri.
Salam lestari
Hudi DW
Kamis, 07 Februari 2008
Langganan:
Postingan (Atom)